TUGAS III
APRESIASI PUISI INDONESIA
Nama : Andi Musliana
Kelas/Nim : B/105104059
Prodi : Pend. Bahasa dan Sastra
Indonesia
Pertanyaan
1.
Buatlah dua buah puisi!
2.
Carilah latar belakang para penyair yang
ada pada periode Pujangga Baru sampai pada periode 1970- sekarang!
3.
Analisislah puisi yang telah anda buat
selama ini. Apakah terdapat penyimpangan dalam Puisi anda!
Jawab
1.
Puisi
Hanya Dua
Pagi takkan menjadi siang
Siang takkan menjadi senja
Senja takkan menjadi malam
Dan malam takkan menjadi pagi
Roda
putaran dunia yang tak bisa digenggam
Dalam
sekejam mata yang tak bisa menerawangnya
Kesejukan
dalam dinginnya kemewahan
Kehangatan
dalam panasnya getaran hidup
Takkan bisa terganti hanya dua saja
Namun,,,,
Hanya dua waktu yang memberikan
kedamaian
Hanya dua cuaca yang menyampaikan
keindahan
Hanya dua rasa yang orang miiki
Hanya dua kehiduapan dalam dunia
ini
Dan hanya DIRIMU maha Pencipta
Puncak
kehidupan
Terpaan mentari dalam lukisan
kasih tak bersayap
Seruan beku yang tumbuh dalam
kehangatannya
Berandai dalam lingkaran penopang
sayap
Sihir menyambar dalam kegigihan
raut wajah
Melunglai dalam jiwa kekosongan
Lentera
merah meredup di peraduan
Layangan hitam
menari di sambar petir
Goyangan
kasih tak lagi di dapatkan
Membeku
dalam magma kenistaan hidup
Jemari layu menggapai nirwana ke
sucian
Menghapuskan setetes bercak indah
di pembaringan
Melambai pedih dalam rasa yang
pahit
Meronta dalam sentuhan kelembutan
Dalam senyap suara hati
2. Latar
Belakang Rivai Apin
Rivai Apin adalah
seorang penyair seangkatan dengan Chairil Anwar. Rivai Apin lahir di
Padangpanjang tanggal 30 agustus 1927 dan wafat di Jakarta pada April 1995.
Sejak masih duduk di sekolah menengah dia telah mengumumkan sajak-sajaknya
dalam majalah-majalah terkemuka, ia pun pernah duduk sebagai anggota redaksi
Gema Suasana, Gelanggang, Zenith, majalah Nusantara, dan lain-lain. Sesudah
lulus SMA beberapa tahun menjadi mahasiswa Hukum di Jakarta. Tahun 1954 ia
melakukan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari Gelanggang
dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), dan beberapa lamanya memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru yang
menjadi organ kebudayaan P. K. I. Rivai termasuk Lekra yang karya-karyanya
dilarang untuk terbit.
Karya-karyanya berupa
sajak yang masih bertebaran dalam majalah-majalah, belum ada yang
membukukannya. Rivai Apin adalah satu-satunya pelopor Angkatan '45 yang belum
menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku, meskipun jumlah sajak-sajaknya
telah memenuhi syarat untuk dibukukan. Juga studi tentang sastrawan ini belum
ada.
Sajak-sajak Rivai Apin tidak semerdu Asrul Sani, namun keras memberontak seperti dalam sajak-sajak vitalisnya Chairil. Hanya ada kecenderungan nihilisme pada sajak-sajaknya, yang berniat penghancuran segala sesuatu untuk sesuatu yang baru, namun kurang jelas kebaruan yang bagaimana.
Sajak-sajak Rivai Apin tidak semerdu Asrul Sani, namun keras memberontak seperti dalam sajak-sajak vitalisnya Chairil. Hanya ada kecenderungan nihilisme pada sajak-sajaknya, yang berniat penghancuran segala sesuatu untuk sesuatu yang baru, namun kurang jelas kebaruan yang bagaimana.
Rivai
Apin ternyata ahli esai yang tidak begitu besar bakatnya seperti Asrul Sani,
dan dia tidak juga penting sebagai penyair. Dalam sajak-sajaknya Rivai Apin
mengungkapkan dengan emosi sebagai objek dan bukan pendorong. Rivai Apin, Asrul
Sani dan chairil anwar sama-sama dibesarkan dalam kancah perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia dari rantai belenggu kolonialisme meskipun mereka menerbitkan kumpulan puisi
bersama yang masyhur berjudul « Tiga Menguak Takdir » dan juga sama-sama
sebagai pendiri « Gelanggang Seniman Merdeka » yang juga dinobatkan sebagai «
Pelopor Angkatan’45 » ; namun takdir merela relatif berbeda-beda pula adanya.
Baik di masa kritis menghadapi taktik-trik kaum kolonialis dan neo-kolonialis
serta imperialis, baik di masa pergolakan di bawah Orde Lama maupun kemudian,
di bawah Orde Baru. Begitupun, dalam alam perpuisian, sepertinya mereka tak
bisa terpisahkan satu sama lain jika semata-mata menyimak bukti kumpulan puisi
« Tiga Menguak Takdir » yang bersejarah itu. tak kurang maknanya sajak « Elegi
» yang mengungkapkan suasana kesenduan bangsa Indonesia. Pada
tahun 1966 setelah peristiwa G 30S PKI Rivai Apin ikut
ditahan oleh pemerintah Orde Baru, Republik Indonesia, bersama sejumlah aktivis
yang lain dan baru mengecap kebebasan kembali tahun 1979. ditahan dan
baru dibebaskan pada akhir tahun 1979.
Sajak-sajak
dari Rivai Apin yaitu
Dari Dunia Belum Sudah
Pagi itu aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semuanya beku padu:
manusia benda dan udara, tapi memperlihatkan harga.
Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Yogya sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Syahrir…
Kami terus berbicara, atau ke teman, ke teman dan ke teman…
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan,
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
Buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan.
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
—yang periuknya selalu terbuka—Dan aku sudahkan keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita
di dalam kegelapan
Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding
kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.
Pagi itu aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semuanya beku padu:
manusia benda dan udara, tapi memperlihatkan harga.
Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Yogya sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Syahrir…
Kami terus berbicara, atau ke teman, ke teman dan ke teman…
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan,
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
Buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan.
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
—yang periuknya selalu terbuka—Dan aku sudahkan keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita
di dalam kegelapan
Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding
kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.
Pesan yang ingin disampaikan Rivai Apin
adalah adanya penangkapan-penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap pemimpin
dan orang-orang republik. Rivai Apin merasa gelisah karena Proklamasi
Kemerdekaan yang telah didengungkan pada 17 Agustus 1945 mengalami ganjalan
karena Belanda melakukan agresi militernya yang kedua pada 1948. Yogyakarta
yang saat itu menjadi pusat pemerintahan diduduki Belanda dan para pemimpin
Republik Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim
ditangkap. Kata “merdeka” yang menjadi impian bangsa Indonesia saat itu seperti
tertutup kabut hitam. Dalam suasana yang tidak menentu itu Rivai Apin
mengatakan dalam puisinya, “Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi, tapi
telah mengejar pula ke dalam dunia yang belum sudah.” Dunia yang belum
sempurna.
PERISTIWA
Malam membenamkan aku ke gang-gang
Dan dari aku, dia tidak akan dapat tantangan.
Aku tahu, kapal-kapal telah berangkat
Dan tidaklah akan kukejar ini kepergian.
Aku tadi juga di tangga dan di telingaku membising:
Orang bersuit-suitan dan menyoraki,
Tapi satu kilat memutuskan:
Aku kembali ke tengah mereka.
Benciku, yang melendir di mulut kuludahkan ke kapal yang tak kena
dan satau ombak kecil enak saja membawa ludahku lari
ORANG PENGHABISAN
Untuk Chairil Anwar
Aku menyerah dengan seluruh kekayaanku:
Kekinian dan ke akanan. Pada kursi panjang
Di kamar terang samar pada senja
Dengan rokok berkepulan di tangan.
Hari-hari aku jadikan pura dari kelaluan
Dan sekali-kali aku akan tertawa dan tersenyum sendirian.
Tiap hari-hari mati membenamkan aku
Ke dalam benda-benda yang berlapukan dan berdebuan
Tapi, sehabis kuap yang penghabisan, aku taku
Kepala akan berteleng dan
mulut yang meliang dengan bibir yang berat bergantungan
Akan keluar penyesalan: Hari-hari baru hanya cemooh keterlaluan.
Malam membenamkan aku ke gang-gang
Dan dari aku, dia tidak akan dapat tantangan.
Aku tahu, kapal-kapal telah berangkat
Dan tidaklah akan kukejar ini kepergian.
Aku tadi juga di tangga dan di telingaku membising:
Orang bersuit-suitan dan menyoraki,
Tapi satu kilat memutuskan:
Aku kembali ke tengah mereka.
Benciku, yang melendir di mulut kuludahkan ke kapal yang tak kena
dan satau ombak kecil enak saja membawa ludahku lari
ORANG PENGHABISAN
Untuk Chairil Anwar
Aku menyerah dengan seluruh kekayaanku:
Kekinian dan ke akanan. Pada kursi panjang
Di kamar terang samar pada senja
Dengan rokok berkepulan di tangan.
Hari-hari aku jadikan pura dari kelaluan
Dan sekali-kali aku akan tertawa dan tersenyum sendirian.
Tiap hari-hari mati membenamkan aku
Ke dalam benda-benda yang berlapukan dan berdebuan
Tapi, sehabis kuap yang penghabisan, aku taku
Kepala akan berteleng dan
mulut yang meliang dengan bibir yang berat bergantungan
Akan keluar penyesalan: Hari-hari baru hanya cemooh keterlaluan.
3. Analisis
Puisi
Ayah
Duduk
tersandar aku selalu mengenangmu
Mendekapmu ingin aku lakukan
Bagaikan pungguk yang merindukan bulan sudah tak terbendung
Ingin menyentuh senyum yang kau lukiskan
Ayah...
Dalam hidupku akan ada bayanganmu
Kekuatanku ada dalam dirimu
Saat aku rapuh kau selalu menopangku
Engkau tongkat emas menerangi jiwaku
Memberikan kilauan di sanubari kosong
Ayah............
Sering ku menangis pada dinding yang tak bertuan
Pada papan cermin yang mulai usang
Pada bingkai hati yang tak kunjung merayap
Tidak...tidak...tidak.
Aku masih tak bisa melepasmu
Terbang melayang menembus celah-celah sempit itu
Ingin berlari menembus lorong waktu
Mematahkan segala yang ada di hadapanku
Menghancurkan duri berdaging di jiwaku
Untuk menggenggam tanganmu lagi
Ayah.
Pada
puisi di atas terdapt penyimpangan penggunaan morfologis yang tak semestinya
ada. Pada kata duduk tersandar pada
kalimat awal seharusnya duduk bersandar menggunakan prefiks ber- namun diganti
menjadi prefiks ter-. Selain puisi Ayah yang memiliki penyimpangan Morfologis
terdapat juga puisi Lembayu Senja yang menggunakan penyimpangan sintaksis.
Lembayu senja
By : Andi Musliana
Awan
tebal mulai berduyung
Bergerak
jauh mengikuti arus
Termangu
langit bintang kecil
Matahari
senja tak bergairah lagi
Burung
camar bersiul pedih
Terbang
melayang bagai derita
Mengikuti
induk ke singgasana
Saat
Cahaya mulai memudar
Dalam
remang hancur terkubur
Di
ujung fatamorgana terhapus ingatan
Mata
silap dalam kaguman
Decakan
alam tak kunjung pergi
Menampakkan
pesona bak sang dewi
Pada Puisi lembayu senja kata hancur
terkubur seharusnya di tulis terkubur hancur karena pada dasarnya frase dalam
kaidah pemakaian bahasa Indonesia menggunakana pola DM bukan menggunakan MD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar